Serene, Peace and Harmony Serene, Peace and Harmony | Sharing Moments Serene, Peace and Harmony | Sharing Moments Sharing Moments, Berbagi Untuk Kebaikan , memberikan inspirasi bagi sesama agar hidup ini menjadi lebih bahagia

Jumat, 14 Oktober 2011

Serene, Peace and Harmony


Mau meneruskan cerita saya sebelumnya ah…..


Saya terbangun lebih awal dari ayam berkokok, kalau di Jakarta boro2 bisa bangun subuh yang ada bangun siang, kalaupun bangun subuh pastinya memilih untuk melanjutkan tidur kami kembali…hehehe... Tapi kali ini lain, setelah bangun tidur saya mengajak pengantin dan keluarga saya jalan-jalan memutari kampung, meneruskan petualangan kemarin, namun berhubung udaranya dingin dan membuat tubuh menggigil akhirnya kami memilih untuk ngobrol2 di kode (warung) bapauda, sambil menikmati penganan serta kopi dan teh….

Oh iya, saya ingin berkisah sedikit mengenai perjalanan dari Tomok menuju Lontung, jaraknya tidak terlalu jauh kurang dari 30 km, idealnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam itupun dengan kecepatan sedang. Tapi berhubung jalan yang dilalu jelek alhasil waktu tempuh jadi satu jam lebih. Nah waktu santai pagi-pagi inilah bapauda berujar kalo nantinya akan ada akses lain masuk kesana melalui arah berlawanan (pangururan) yang notabene jalannya jauh lebih baik dari jalan yang kami tempuh sebelumnya. Dengan rasa penasaran saya ambil motor dan kendarai melalui jalan yang bapauda sebutkan pagi itu, heeemmmmm…..apa yang bapauda katakan benar sekali, jalanannya relative lebih mulus disbanding jalan yang kemarin kami tempuh. Saya hanya menempuh kurang lebih 5 km, karena menurut bapauda jalannya memang belum rampung, namun dari jarak tersebut saya merasa bahwa ini bisa jadi alternative yang jauh lebih baik jika pembangunannya selesai.

Setelah selesai bersantai-santai sejenak sambil menikmati sarapan kami melanjutkan liburan dengan berziarah ke tugu (makam) dari para leluhur kami, tempatnya tidak terlalu jauh, +/- 200m, ditengah persawahan dan cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Setiba disana kami dapati tugu yang masih dalam kondisi baik walau cat telah mengelupas disana-sini. Tugu merupakan tempat dikumpulkannya jenazah dari keluarga kami yang telah wafat, mulai dari kakeknya bapak sampai yang terakhir adik sepupu saya. Disini memang lazimnya setiap jenazah dari keluarga dikumpulkan dalam satu tugu, begitu pula di kampung mama saya dan di hampir sebagian besar daerah di Sumatera Utara.

Selesai ziarah kami kembali ke rumah untuk meneruskan cerita yang tertunda malam kemarin, senang sekali bisa bertemu dengan keluarga besar dari papa, dan saya sendiri selalu terkagum-kagum dengan kekerabatan disana, namboru dan amangboru yang letak kampungnya jauh diatas menyempatkan untuk berkunjung walau harus menuruni bukit, demikian pula dengan inangtua dan abang yang letak kampungnya cukup jauh (kalo mereka sih bilangnya dekat), dan itu mereka lakukan semua dengan berjalan kaki. Kalopun ada kereta (sebutan untuk motor disana) mereka lebih senang berjalan kaki (kalo anak mudanya sih mungkin tetap lebih senang naik kereta….hehehehe).

Disinilah kami menemukan suasana damai, tenang dan arti keluarga sesungguhnya, lepas dari kepenatan, rutinitas, dan hiruk-pikuk perkotaan. Kami hanya menemui suara jangkrik, suara burung (entah burung apa), bahkan suara babi J, suara debur air danau toba yang meski jaraknya jauh tapi masih terdengar, udara yang bebas dari polusi, lepas deru kendaraan yang memekakan telinga, pokoknya suasananya benar2 tenang. Disini juga kami menemukan keramahan khas Indonesia yang bahkan tidak kami temukan ditempat obyek wisata di Tomok yang hanya berjarak kurang dari 30 km itu (well, dimaklumi aja, daerah wisata kan motivasinya untung….hehehe).

Saya juga menyempatkan jalan ke sekolah SD disana, melihat anak-anak yang dengan riang pergi bersekolah walau mereka harus berjalan kaki dari kampungnya menuju sekolah, di Jakarta  Cuma segelintir anak sekolah yang berangkat dengan berjalan kaki, kalo bisa pake jemputan mendingan pake jemputan deh J. sebelum pelajaran dimulai saya juga sempat melihat mereka bermain bola, gerakan-gerakannya sangat lincah untuk kategori anak-anak yang tidak pernah belajar tehnik dasar bermain bola. Seandainya pengurus PSSI mau melihat bakat-bakat alami anak-anak di pedesaan seperti ini pastilah sepakbola Indonesia sudah berada di level dunia.

Kekaguman saya dan keluarga akan tanah leluhur kami tidak berhenti sampai disitu, masih banyak hal yang membuat kami kagum mulai dari keasrian, keindahan alamnya sampai perilaku masyarakatnya yang jauh dari gambaran umur yang menyatakan bahwa orang batak itu kasar, karena yang kami temui justru masyarakat yang lemah-lembut dan ramah, kalau masalah suara ya itu mah mungkin dah given dari sananya J.  Kekaguman kami tergambar dalam O Tano Batak dibawah ini:


O Tano Batak

O tano batak haholonganku
sai na masihol do au tu ho
dang olo modom dang nop matakku
sai namalungun do au
sai naeng tu ho
Molo dung bissar mataniari
lao manondangi hauma i
godang do ngolu siganup ari
mambahen masihol do au
sai naeng tu ho
Reff.
O tano batak andigan sahat
dapothononku tano hagodangan ki
O tano batak sai naeng hutatap
au on naeng mian di ho
sambulon ki

Lain kali saya terjemahin ya, maklum masih marpasir-pasir...hehehe  *tutupmuka*

Well, segitu dulu kisahnya, lain waktu kita lanjutkan dengan kisah yang lain....


Danau Toba

1 komentar:

  1. waaahhhhhhhh......jadi pengen ke danau toba nih :)

    BalasHapus

Sharing Moments, Berbagi Untuk Kebaikan...