Mau meneruskan cerita saya
sebelumnya ah…..
Saya terbangun lebih awal
dari ayam berkokok, kalau di Jakarta boro2 bisa bangun subuh yang ada bangun
siang, kalaupun bangun subuh pastinya memilih untuk melanjutkan tidur kami
kembali…hehehe... Tapi kali ini lain, setelah bangun tidur saya mengajak
pengantin dan keluarga saya jalan-jalan memutari kampung, meneruskan
petualangan kemarin, namun berhubung udaranya dingin dan membuat tubuh
menggigil akhirnya kami memilih untuk ngobrol2 di kode (warung)
bapauda, sambil menikmati penganan serta kopi dan teh….
Oh iya, saya ingin berkisah
sedikit mengenai perjalanan dari Tomok menuju Lontung, jaraknya tidak terlalu
jauh kurang dari 30 km, idealnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam itupun
dengan kecepatan sedang. Tapi berhubung jalan yang dilalu jelek alhasil waktu
tempuh jadi satu jam lebih. Nah waktu santai pagi-pagi inilah bapauda berujar
kalo nantinya akan ada akses lain masuk kesana melalui arah berlawanan
(pangururan) yang notabene jalannya jauh lebih baik dari jalan yang kami tempuh
sebelumnya. Dengan rasa penasaran saya ambil motor dan kendarai melalui jalan
yang bapauda sebutkan pagi itu, heeemmmmm…..apa yang bapauda katakan benar
sekali, jalanannya relative lebih mulus disbanding jalan yang kemarin kami
tempuh. Saya hanya menempuh kurang lebih 5 km, karena menurut bapauda jalannya
memang belum rampung, namun dari jarak tersebut saya merasa bahwa ini bisa jadi
alternative yang jauh lebih baik jika pembangunannya selesai.
Setelah selesai
bersantai-santai sejenak sambil menikmati sarapan kami melanjutkan liburan
dengan berziarah ke tugu (makam) dari para leluhur kami,
tempatnya tidak terlalu jauh, +/- 200m, ditengah persawahan dan cukup ditempuh
dengan berjalan kaki. Setiba disana kami dapati tugu yang
masih dalam kondisi baik walau cat telah mengelupas disana-sini. Tugu merupakan
tempat dikumpulkannya jenazah dari keluarga kami yang telah wafat, mulai dari
kakeknya bapak sampai yang terakhir adik sepupu saya. Disini memang lazimnya
setiap jenazah dari keluarga dikumpulkan dalam satu tugu, begitu pula di
kampung mama saya dan di hampir sebagian besar daerah di Sumatera Utara.
Selesai ziarah kami kembali
ke rumah untuk meneruskan cerita yang tertunda malam kemarin, senang sekali
bisa bertemu dengan keluarga besar dari papa, dan saya sendiri selalu
terkagum-kagum dengan kekerabatan disana, namboru dan amangboru yang letak
kampungnya jauh diatas menyempatkan untuk berkunjung walau harus menuruni
bukit, demikian pula dengan inangtua dan abang yang letak kampungnya cukup jauh
(kalo mereka sih bilangnya dekat), dan itu mereka lakukan semua dengan berjalan
kaki. Kalopun ada kereta (sebutan untuk motor disana) mereka
lebih senang berjalan kaki (kalo anak mudanya sih mungkin tetap lebih senang
naik kereta….hehehehe).
Disinilah kami menemukan
suasana damai, tenang dan arti keluarga sesungguhnya, lepas dari kepenatan,
rutinitas, dan hiruk-pikuk perkotaan. Kami hanya menemui suara jangkrik, suara
burung (entah burung apa), bahkan suara babi J, suara debur air danau toba
yang meski jaraknya jauh tapi masih terdengar, udara yang bebas dari polusi,
lepas deru kendaraan yang memekakan telinga, pokoknya suasananya benar2 tenang.
Disini juga kami menemukan keramahan khas Indonesia yang bahkan tidak kami temukan
ditempat obyek wisata di Tomok yang hanya berjarak kurang dari 30 km itu (well,
dimaklumi aja, daerah wisata kan motivasinya untung….hehehe).
Saya juga menyempatkan
jalan ke sekolah SD disana, melihat anak-anak yang dengan riang pergi
bersekolah walau mereka harus berjalan kaki dari kampungnya menuju sekolah, di
Jakarta Cuma segelintir anak sekolah yang berangkat dengan berjalan kaki,
kalo bisa pake jemputan mendingan pake jemputan deh J. sebelum pelajaran
dimulai saya juga sempat melihat mereka bermain bola, gerakan-gerakannya sangat
lincah untuk kategori anak-anak yang tidak pernah belajar tehnik dasar bermain
bola. Seandainya pengurus PSSI mau melihat bakat-bakat alami anak-anak di
pedesaan seperti ini pastilah sepakbola Indonesia sudah berada di level dunia.
Kekaguman saya dan keluarga
akan tanah leluhur kami tidak berhenti sampai disitu, masih banyak hal yang
membuat kami kagum mulai dari keasrian, keindahan alamnya sampai perilaku
masyarakatnya yang jauh dari gambaran umur yang menyatakan bahwa orang batak
itu kasar, karena yang kami temui justru masyarakat yang lemah-lembut dan
ramah, kalau masalah suara ya itu mah mungkin dah given dari
sananya J. Kekaguman kami tergambar dalam O Tano Batak dibawah ini:
O Tano Batak
O
tano batak haholonganku
sai na masihol do au tu ho
dang olo modom dang nop matakku
sai namalungun do au
sai naeng tu ho
sai na masihol do au tu ho
dang olo modom dang nop matakku
sai namalungun do au
sai naeng tu ho
Molo
dung bissar mataniari
lao manondangi hauma i
godang do ngolu siganup ari
mambahen masihol do au
sai naeng tu ho
lao manondangi hauma i
godang do ngolu siganup ari
mambahen masihol do au
sai naeng tu ho
Reff.
O tano batak andigan sahat
dapothononku tano hagodangan ki
O tano batak sai naeng hutatap
au on naeng mian di ho
sambulon ki
O tano batak andigan sahat
dapothononku tano hagodangan ki
O tano batak sai naeng hutatap
au on naeng mian di ho
sambulon ki
Lain
kali saya terjemahin ya, maklum masih marpasir-pasir...hehehe *tutupmuka*
Danau Toba |
waaahhhhhhhh......jadi pengen ke danau toba nih :)
BalasHapus